Prabu Sentanu & Bisma Dewabrata
|
Prabu Sentanu |
Santanu
adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia adalah putra Raja Pratipa dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja
Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurusetra,
letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara
legal, kakek daripada Pandu
dan Dretarastra.
Ia memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para
keturunan Kuru, di Kerajaan
Kuru.
Kehidupan awal
Prabu Santanu
merupakan putra dari pasangan Raja Pratipa dengan
Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru,
yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti
tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat putranya lahir.
Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang
berburu ke hutan. Pada saat ayahnya hendak pensiun, kakaknya, Dewapi dan Bahlika menolak
mewarisi tahta. Dewapi memutuskan untuk hidup sebagai pertapa demi menemukan
kedamaian, sementara Bahlika memutuskan untuk pergi berkelanan ke India Barat.
Maka dari itu, Santanu menggantikan posisi ayahnya, Raja Pratipa, sebagai raja
di Hastinapura.
Pernikahan dengan Gangga
|
Dewi Gangga |
Pada saat Prabu
Santanu berburu ke tepi sungai Gangga, ia bertemu dengan wanita yang sangat
cantik dan tubuhnya sangat indah. Wanita tersebut adalah Dewi Gangga
(dalam tradisi Jawa
disebut "Jahnawi"). Ia kena kutuk Dewa Brahma untuk turun
ke bumi dan menjadi
pasangan keturunan Raja Kuru. Karena terpikat oleh kecantikannya, Prabu Santanu
merasa jatuh cinta. Dewi Gangga pun bersedia menjadi permaisurinya
dengan syarat bahwa apapun yang ia lakukan terhadap anaknya, Prabu Santanu
tidak boleh melarangnya. Jika Prabu Santanu melanggar janjinya, maka Dewi
Gangga akan meninggalkannya. Karena perasaan cinta yang meluap-luap, maka
syarat tersebut dipenuhi.
Setelah menikah, Dewi
Gangga mengandung putranya yang pertama. Namun tak lama setelah anak
tersebut lahir, ibunya segera menenggelamkannya ke sungai Gangga. Begitu pula
pada para puternya yang selanjutnya, semua mengalami nasib yang sama. Sang raja
mengetahui hal tersebut karena selalu membuntuti istrinya, namun ia tak kuasa
mencegah karena terikat akan janji pernikahannya. Ketika Sang Dewi mengandung
putranya yang kedelapan, Prabu Santanu tak tahan lagi. Lalu ia menghentikan
perbuatan permaisurinya yang ia anggap sebagai perbuatan biadab dan tidak
berperikemanusiaan.
Dewi Gangga
menghentikan perbuatannya lalu menjelaskan bahwa putra-putra yang ia lahirkan
merupakan inkarnasi
dari Astabasu atau delapan Wasu. Tindakannya menenggelamkan
bayi-bayi tersebut adalah untuk melepaskan jiwa mereka agar mencapai surga, kediaman para
Wasu. Konon, delapan Wasu tersebut pernah mencuri lembu sakti miliki Resi Wasista. Karena
ketahuan, mereka dikutuk oleh Resi Wasista supaya kekuatan Dewata mereka hilang
dan menjelma sebagai manusia. Salah satu dari delapan Wasu tersebut bernama Prabata yang merupakan pemimpin
daripada rencana pencurian tersebut. Karena ia merupakan pelaku utama dan
ketujuh Wasu lainnya hanya ikut membantu, maka Prabata yang menjelma paling
lama sebagai manusia. Kelak Prabata menjelma sebagai seorang manusia sakti yang
bernama Dewabrata.
Setelah menjelaskan hal tersebut kepada Prabu Santanu, Dewi Gangga yang masih
mengandung lenyap di sungai Gangga.
Kemunculan Bisma
|
Bisma |
Prabu Santanu
akhirnya merelakan kepergian permaisurinya dan kembali lagi ke istana,
memerintah kerajaan Hastinapura. 16 tahun kemudian, Prabu Santanu yang sedang
bosan, jalan-jalan ke tepi sungai Gangga. Di sana ia melihat seorang putra yang
sangat kuat, mampu membendung air sungai Gangga menggunakan ratusan anak panah.
Setelah ibunya (Dewi Gangga) muncul dan menjelaskan asal-usul anak tersebut,
Prabu Santanu sangat gembira, sebab putranya yang dibawa pergi semenjak lahir
telah kembali pulang. Oleh Santanu, anak tersebut diberi nama Dewabrata. Sang Prabu
mengajak anak tersebut ke istana. Dewabrata tumbuh menjadi putera yang berbakti
kepada orang tua dan memiliki jiwa ksatria tinggi. Ia bahkan dicalonkan sebagai
penerus tahta.
Pernikahan dengan Gandawati
Pada suatu ketika
Prabu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai
Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu
Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut
dari seorang gadis desa, bernama Gandhawati
(lebih dikenal sebagai Satyawati atau Durgandini). Gadis tersebut sangat elok
parasnya dan harum tubuhnya. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar gadis
tersebut. Ayah gadis tersebut bernama Dasabala. Ketika Sang Raja
melamar gadis tersebut, orang tuanya mengajukan syarat bahwa jika Gandhawati
(Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai
dengan Dharma
dan keturunan Gandhawati-lah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar syarat
tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi
jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia
dapatkan.
Melihat ayahnya
jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya
jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada
seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai
Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat
diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia
juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta
keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara
keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat
itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu
memiliki dua orang putra bernama Citrānggada
dan Wicitrawirya.
Prabu Santanu wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta Hastinapura.
Kelak Wicitrawirya
akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan Korawa
ARTI NAMA BISMA
Bisma (Sansekerta:
Bhīshma) terlahir sebagai Dewabrata (Sansekerta: Dévavrata), adalah salah satu
tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu
dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda
ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa
tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan
sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran
besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan
bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup
selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan
nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).
Arti nama
Nama Bhishma dalam
bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia
bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya.
Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya,
yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya.
Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan
keturunan Satyawati, ibu tirinya.
Kelahiran
Bisma Merupakan
penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai manusia yang lahir
dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab Adiparwa, Delapan
Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas perbuatannya yang telah
mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju bumi,
mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia untuk menjadi
istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu kemudian membuat
kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma sebagai delapan
putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma merupakan
penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.
Kehidupan awal
Sementara tujuh
kakaknya yang telah lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh
ibu mereka sendiri, Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh
ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga,
meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu
menemukan puteranya secara tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga
kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama
Dewabrata. Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan
dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang
Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta
serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak memperebutkan
tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi
nama Bisma dan dianugerahi agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu
sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.
Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka
bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi
ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga
orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada
adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan
Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena
terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk
menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada
Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi
menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja
Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi
yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Pendidikan
Bisma mempelajari
ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi
Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang
ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi sejak
zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam menggunakan segala
jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti oleh segala
lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena perdebatan mereka di
asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja Bisma mendorong
Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama bersumpah untuk tidak
lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat susah.
Peran dalam Dinasti Kuru
Di lingkungan
keraton Hastinapura, Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya
karena ia tua, namun juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan
peperangan. Dalam setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah
sangat berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang
sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan
laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang.
Bisma sangat
dicintai oleh Pandawa maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang
kakek sekaligus kepala keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap
Bisma sebagai ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat.
Perang di Kurusetra
Saat perang antara
Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum
pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh
kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian,
karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma
merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan berada di pihak Pandawa,
meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada
Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti
berada di pihak Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna
maka di sanalah terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada
Arjuna, di sanalah terdapat kejayaan.
|
Bisma Gugur |
Dalam pertempuran
akbar di dataran keramat Kurukshetra, Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit
dan ksatria yang melawannya pasti binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab
Bismaparwa dikatakan bahwa di dunia ini para ksatria sulit menandingi
kekuatannya dan tidak ada yang mampu melawannya selain Arjuna – ksatria
berpanah yang terkemuka – dan Kresna – penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna
mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma, namun ia sering bertarung dengan
setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah kakek kandungnya sendiri. Hal yang
sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih sayang dengan Arjuna, cucu yang
sangat dicintainya.
Kresna yang menjadi
kusir kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang
masih segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa
Bisma dengan tangannya sendiri. Dengan mata yang menyorot tajam memancarkan
kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan perhatian
untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru bahagia jika
gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan
berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan
suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka
memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah
mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila
paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka
pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus
menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak
menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia mengurungkan niatnya dan naik
kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali
pertarungannya.
Kematian
Sebelum hari
kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma di malam hari untuk
mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui bahwa Pandawa dan Kresna telah
masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira
menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka
hormati, Bisma menjawab: .. ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan
menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari
keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari
tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur,
orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan
mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita,
juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu
menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang
yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung
Bisma juga
mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan
seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna,
karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam
peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan
berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya.
Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan
kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut.
Pada hari kesepuluh, Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di
belakang Srikandi, Arjuna menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan
melumpuhkan Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya,
kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena
ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur
seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma
menghembuskan nafasnya setelah ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan
setelah ia memberikan wejangan suci kepada Yudistira setelah perang
Bharatayuddha selesai.
Bisma dalam pewayangan Jawa
Antara Bisma dalam
kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak
terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara
lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari
India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Riwayat
Bisma adalah anak
Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi
Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang
luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh
wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman
di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang
sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena
keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara
Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat
sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti
sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah
satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata
mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya
wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau
menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata
saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang
sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga
mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian
mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam
lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada
Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Dikisahkan, saat ia
lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi.
Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata
hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati,
istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia
dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya,
yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta
menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian
meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada
dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama.
Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan
Kurawa.
Demi janjinya
membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di
perang Bharatayuddha.
Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan
waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta
sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun
ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya
(kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir
daripada perang Bharatayuddha.
Bisma Dewabrata Sebagai Leluhur Pendawa & Kurawa
Bisma Dewabrata tumbuh
menjadi seorang ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur.
Dia
adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah atau
disebut dengan istilah Brahmacarin berkediaman di pertapaan Talkanda.
sumber: media seni budaya wayang Indonesia
motto
- Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
- Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia