Sabtu, 31 Agustus 2013

Filosofi Cerita Wayang Kulit

Mengajarkan Moral Anak Lewat Kisah Lakon Wayang Kulit Wisanggeni Lahir

Seperti yang kita ketahui, banyak pesan moral yang ada dalam kisah pewayangan seperti: Baratayuda, anoman obong, baruklinthing, lahirnya wisanggeni dan lain-lain.
Mungkin kebanyakan orang modern kurang memahami semua materi dan pesan moral yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut, namun ada satu kisah yang lumayan saya pahami dan saya rasa sangat menarik untuk di kupas mengenai pesan moral nya yaitu; lakon lahirnya wisanggeni.

Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Batari Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para Dewa.
Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brama menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.


Brama yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak dijadikan Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brama pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.

Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brama membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.

Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna “racun api”. Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, sang dewa penguasa api. Selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni.

Atas petunjuk Narada, Wisanggeni pun membuat kekacauan di kahyangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkannya, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, leluhurnya.
pesan moral dalam lakon ini antara lain adalah: -wisanggeni di buang di kawah candra dimuka, bukan nya mati tapi justru tumbuh menjadi pemuda sakti dan tangguh.

kalo di maknai secara harfiah yaitu; seorang anak yang di pisah dari orang tua nya untuk menuntut ilmu di sebuah padepokan, perguruan maupun pesantren tanpa di dampingi oleh kedua oarang tua nya namun tetap di bawah pengawasan orang yang tepat dan bijaksana, di tempat sang anak belajar, ia di didik dengan disiplin dan di tempa agar siap menjadi anak yang tangguh untuk menghadapi tuntutan zaman yang semakin tidak karuan.

sumber: media seni budaya Indonesia

motto
Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia












by : Imam Sugraha (Wonosobo)

Cerita Wayang Kulit Wisanggeni Lahir

Wisanggeni Lahir

Tersebutlah Dewi Dresanala Dewi Cantik yang dihadiahkan pada Arjuna beserta Ke enam Dewi lainnya karena Arjuna berhasil membunuh raja raksasa yang meminta Dewi Supraba sebagai istrinya. rupanya anak Bhatari Durga bernama Dewasrani menginginkan juga Dewi Cantik Dewi Dresanala ini. tapi apa lacur? Sang Dewi beserta 7 Dewi lainnya telah mengandung bibit benih Arjuna. dan kayaknya Arjuna sayang juga terhadap sang Dewi, Arjuna sering menyambangi Dewi cantik ini di Khayangan.

Tersebutlah sang Dewasrani mengadu kepada ibunya Bhatari Durga, ibunya kemudian berkata, menghadaplah kepada Bhatara Guru (Sang Hyang Girinata atau Jagatnata) aku akan mencoba untuk membantumu, maka berangkatlah Dewasrani diiringi oleh sang ibu Bhatari Durga ke Paseban Agung tempat Bhatara Guru dan Para Dewa bertemu.

Di paseban agung hadir Dewa Dewa dan terutama Bhatara Guru sebagai Rajanya Para Dewa, lalu Bhatara Narada sebagai Patihnya Para Dewa, dan Bhatara Penyarikan, Bhatara Indra, Bhatara Kamajaya dan bermacam macam dewa hadir dalam pertemuan agung itu. nah saat itu menghadaplah Dewasrani, mengutarakan maksudnya untuk “Mengawini” Dewi Dresanala, dengan didampingi Bhatari Durga yang juga ikut melobi kepada Bhatara Guru.

Seperti biasa Bhatara Guru termakan omongan bhatari Durga dan Dewasrani, maka Bhatara Guru mengeluarkan titah untuk mengusir Arjuna dari Khayangan (kebetulan Arjuna sedang berada di Khayanan mengunjungi Dewi Dresnala), dan menggugurkan semua kandungan bidadari yang berasal dari benih Arjuna, dan mengawinkan Dewi Dresanala dengan Dewasrani.


Bhatara Narada dan Bhatara Kamajaya berusaha mencegah, tapi malah diberi pidana dengan dilepas pangkat dan kedudukanya sebagai dewa, Bhatara Narada marah dan turun ke bumi bersama Bhatara Kamajaya. sementara itu pasukan dewa dibawah pimpinan Bhatara Penyarikan dan Bhatara Indra segera diutus untuk menjalankan perintah, menggugurkan semua kandungan bidadari, mengusir Arjuna dari khayangan dan membawa paksa Dewi Dresanala.

Terkisahkan pasukan dewa sampai di kediaman Dewi Dresnala, Arjuna diusir dengan kasar dan kembali ke Marcapada dengan sedih. Dewi Dresanala dipaksa untuk ikut ke kediaman Dewasrani, saking sedihnya Dewi Dresanala berteriak nyaring, lalu lahirlah jabang bayi dari perutnya bersamaan dengan teriakan itu.



Sementara di Marcapada Semar Badranaya (atau Punokawan Jelmaan Sang Hyang Ismaya saudara Sang Hyang Girinata dan Sang Hyang Antaga/Togog) dilapori Arjuna kejadian yang terjadi, apalagi pasukan baju barat dari Sentra Gandamayit kediaman Bhatari Durga sempat menghambat langkah Arjuna, untung bisa dimusnahkan. Semar naik darah dan pergi ke khayangan untuk melihat apa yang terjadi.

Bayi yang masih orok itu, yang merupakan anak Dewi Dresanala seharusnya dilihat dengan penuh kasih sayang, tapi tidak dengan pasukan dewa. mereka justru memukuli bayi merah itu. anehnya bukanya mati, justru bayi merah itu jadi bisa merangkak. Bhatara Indra dan Bhatara Penyarikan bingung, maka disiapkanlah pusaka. dihantamkanya ke bayi merangkak tadi. keajaiban kembali terjadi, bayi itu berubah jadi anak kecil yang bisa berjalan. kehilangan akal sehatnya bayi itu dimasukan kedalam Kawah Candradimuka.


Semar melihatnya dengan penuh gregetan, dia sudah tidak sabar pengen menampar para dewa dewa tanpa rasa kasihan itu, lalu Semar turun dan berdiri di samping Kawah Candradimuka. tiba tiba keluarlah anak muda dari dalam kawah dengan tubuh berwarna merah api. dia kemudian menghampiri Semar dan bertanya siapa dirinya dan siapa ayah ibunya.

Semar memberi nama Wisanggeni kepadanya. begitu diberi nama Wisanggeni si pemuda ini menjadi sehat badannya, segar dan penuh dengan kekuatan. dia berterima kasih kepada Semar. lalu oleh Semar disuruh untuk bertanya kepada pasukan dewa siapa ayah ibunya. bagaimana kalau tak dijawab? kata si Wisanggeni, gebuki aja kata Semar.

Wisanggeni menghadang pasukan dewa, dan seperti disinyalir, pasukan dewa gak tau siapa ayah ibu anak ini, maka Wisanggeni mengamuk dan dihajarlah pasukan dewa sampai kocar kacir, dan akhirnya menghadap ke Bhatara Guru. Wisanggeni mengikuti ke hadapan Bhatara Guru diiringi oleh Semar dari jauh.

Bhatara Guru marah, Semar menyuruh Wisanggeni berbuat sama pada Bhatara Guru, bertanya siapa ayah ibunya kalo gak dijawab gebuki. dan Bhatara Guru bertanding melawan Wisanggeni, dan kalah. di tangan kanan kirinya tak mampu menembus kulit  Raden Wisanggeni. Bhatara Guru melarikan diri ke dunia….

Wisanggeni mengikuti larinya Bhatara Guru ke dunia. di dunia Bhatara Guru menemui Arjuna yang lagi bersedih bersama Bimasena atau Werkudoro. dia dibarengi oleh 2 orang petapa yang membimbing Arjuna. Bhatara Guru datang dan meminta bantuan. bahwa ada anak setan yang mengacak acak khayangan. walaupun Arjuna sedih karena diperlakukan buruk oleh para dewa, dia siap maju. tapi Werkudoro mencegah dan maju terlebih dahulu.

Wisanggeni melihat ada satria tinggi besar bertanya pada semar, siapa itu? dijawab oleh Semar, Satria Yodipati Werkudoro. ketika akan dihajar oleh Wisanggeni, Semar melarang dan menyuruh Wisanggeni menghantam Kuku Pancanaka Werkudoro, karena itu kelemahanya. dan benar, setelah tantang menantang terjadilah perkelahian antara Wisanggeni dan Werkudoro. Werkudoro mundur ketika Wisanggeni menghantam kukunya. sambil menahan sakit Werkudoro menyuruh Arjuna maju.

Melihat ada satria bagus maju bertanya Wisanggeni siapa dia? maka dijawab oleh Semar itu ayahmu, janganlah melawannya. dan Wisanggeni pun berkelahi tanpa kekuatan, dia hampir dikeris oleh Arjuna, tapi dihalangi Semar. Semar berkata lebih baik bunuh saya, karena dia itu anakmu, dan berangkulanlah dua orang ayah anak itu sambil menangis.

Bima ngamuk ngamuk setelah tahu Bhatara Guru salah, dia berkata pantas saja aku kalah, ia mengaku membela orang yang salah. dan dua pertapa berubah jadi Bhatara Kamajaya dan Bhatara Narada setelah tidak kuat berhadapan dengan Semar. Bhatara Guru minta maaf pada Semar, Bhatara Narada dan juga Arjuna serta Wisanggeni. berjanji tidak akan mengulangi.

Wisanggeni melabrak tempat kediaman Dewasrani, Dewasrani digebuki oleh Wisanggeni, Dewi Dresnala diajak pulang, sementara ibunya Bhetari Durga di hadapi Semar, maka lunglailah sang Bhetari, dia tidak berani melawan semar. pasukan baju barat yg tadinya mengacau dibawa balik setelah Semar memaafkan si Bhatari Durga, akhirnya berkumpullah, Dewi Dresnala, Arjuna, dan Wisanggeni.

Kesimpulan bahwa Raden Wisanggeni putra Dewi Dresanala istri Arjuna dengan kekuatannya atau kesaktiannya sebenarnya mendapat bantuan langsung oleh Dewa Sang Hyang Wenang yang juga adalah orangtua dari Semar, Bhetara Guru dan Togog.
 

Dan cerita ini telah di pagelarkan di Perumahan Graha Prima Rw.016 pada tanggal 24 Agustus 2013 oleh Dalang Ki Palguno Edy Subagyo, SE dari Yogyakarta bersama sinden bintang tamu mba' Tumpuk dari Wonosobo, hadirin para penonton yang begitu antusias menyaksikan hiburan pagelaran wayang kulit semalam suntuk ini hingga selesai sampai pagi (tanceb kayon).

Keterangan:
lakon "Wisanggeni Lahir" dalam pementasan wayang kulit oleh para Ki Dalang dalam alur cerita terkadang ada pembedaan, namun tetap pada titik temu dari karakter sosok wayang (pakem).

sumber: seni budaya wayang Indonesia

motto
Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia




by: Imam Sugraha (wonosobo)

Sabtu, 20 April 2013

Kisah Prabu Sentanu

Prabu Sentanu & Bisma Dewabrata

Prabu Sentanu
Santanu adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Raja Pratipa dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurusetra, letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara legal, kakek daripada Pandu dan Dretarastra. Ia memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para keturunan Kuru, di Kerajaan Kuru.

Kehidupan awal

Prabu Santanu merupakan putra dari pasangan Raja Pratipa dengan Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru, yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat putranya lahir. Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang berburu ke hutan. Pada saat ayahnya hendak pensiun, kakaknya, Dewapi dan Bahlika menolak mewarisi tahta. Dewapi memutuskan untuk hidup sebagai pertapa demi menemukan kedamaian, sementara Bahlika memutuskan untuk pergi berkelanan ke India Barat. Maka dari itu, Santanu menggantikan posisi ayahnya, Raja Pratipa, sebagai raja di Hastinapura.

Pernikahan dengan Gangga

Dewi Gangga
Pada saat Prabu Santanu berburu ke tepi sungai Gangga, ia bertemu dengan wanita yang sangat cantik dan tubuhnya sangat indah. Wanita tersebut adalah Dewi Gangga (dalam tradisi Jawa disebut "Jahnawi"). Ia kena kutuk Dewa Brahma untuk turun ke bumi dan menjadi pasangan keturunan Raja Kuru. Karena terpikat oleh kecantikannya, Prabu Santanu merasa jatuh cinta. Dewi Gangga pun bersedia menjadi permaisurinya dengan syarat bahwa apapun yang ia lakukan terhadap anaknya, Prabu Santanu tidak boleh melarangnya. Jika Prabu Santanu melanggar janjinya, maka Dewi Gangga akan meninggalkannya. Karena perasaan cinta yang meluap-luap, maka syarat tersebut dipenuhi.

Setelah menikah, Dewi Gangga mengandung putranya yang pertama. Namun tak lama setelah anak tersebut lahir, ibunya segera menenggelamkannya ke sungai Gangga. Begitu pula pada para puternya yang selanjutnya, semua mengalami nasib yang sama. Sang raja mengetahui hal tersebut karena selalu membuntuti istrinya, namun ia tak kuasa mencegah karena terikat akan janji pernikahannya. Ketika Sang Dewi mengandung putranya yang kedelapan, Prabu Santanu tak tahan lagi. Lalu ia menghentikan perbuatan permaisurinya yang ia anggap sebagai perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan.

Dewi Gangga menghentikan perbuatannya lalu menjelaskan bahwa putra-putra yang ia lahirkan merupakan inkarnasi dari Astabasu atau delapan Wasu. Tindakannya menenggelamkan bayi-bayi tersebut adalah untuk melepaskan jiwa mereka agar mencapai surga, kediaman para Wasu. Konon, delapan Wasu tersebut pernah mencuri lembu sakti miliki Resi Wasista. Karena ketahuan, mereka dikutuk oleh Resi Wasista supaya kekuatan Dewata mereka hilang dan menjelma sebagai manusia. Salah satu dari delapan Wasu tersebut bernama Prabata yang merupakan pemimpin daripada rencana pencurian tersebut. Karena ia merupakan pelaku utama dan ketujuh Wasu lainnya hanya ikut membantu, maka Prabata yang menjelma paling lama sebagai manusia. Kelak Prabata menjelma sebagai seorang manusia sakti yang bernama Dewabrata. Setelah menjelaskan hal tersebut kepada Prabu Santanu, Dewi Gangga yang masih mengandung lenyap di sungai Gangga.

Kemunculan Bisma
Bisma

Prabu Santanu akhirnya merelakan kepergian permaisurinya dan kembali lagi ke istana, memerintah kerajaan Hastinapura. 16 tahun kemudian, Prabu Santanu yang sedang bosan, jalan-jalan ke tepi sungai Gangga. Di sana ia melihat seorang putra yang sangat kuat, mampu membendung air sungai Gangga menggunakan ratusan anak panah. Setelah ibunya (Dewi Gangga) muncul dan menjelaskan asal-usul anak tersebut, Prabu Santanu sangat gembira, sebab putranya yang dibawa pergi semenjak lahir telah kembali pulang. Oleh Santanu, anak tersebut diberi nama Dewabrata. Sang Prabu mengajak anak tersebut ke istana. Dewabrata tumbuh menjadi putera yang berbakti kepada orang tua dan memiliki jiwa ksatria tinggi. Ia bahkan dicalonkan sebagai penerus tahta.

Pernikahan dengan Gandawati

Pada suatu ketika Prabu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang gadis desa, bernama Gandhawati (lebih dikenal sebagai Satyawati atau Durgandini). Gadis tersebut sangat elok parasnya dan harum tubuhnya. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar gadis tersebut. Ayah gadis tersebut bernama Dasabala. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut, orang tuanya mengajukan syarat bahwa jika Gandhawati (Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Gandhawati-lah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.

Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu memiliki dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta Hastinapura. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan Korawa

ARTI NAMA BISMA

Bisma (Sansekerta: Bhīshma) terlahir sebagai Dewabrata (Sansekerta: Dévavrata), adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

Arti nama
Nama Bhishma dalam bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

Kelahiran


Bisma Merupakan penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai manusia yang lahir dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab Adiparwa, Delapan Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas perbuatannya yang telah mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.


Kehidupan awal

Sementara tujuh kakaknya yang telah lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh ibu mereka sendiri, Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu menemukan puteranya secara tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama Dewabrata. Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.

Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.

Pendidikan
Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti oleh segala lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena perdebatan mereka di asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja Bisma mendorong Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama bersumpah untuk tidak lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat susah.

Peran dalam Dinasti Kuru

Di lingkungan keraton Hastinapura, Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang.
Bisma sangat dicintai oleh Pandawa maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat.

Perang di Kurusetra

Saat perang antara Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian, karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah terdapat kejayaan.

Bisma Gugur
Dalam pertempuran akbar di dataran keramat Kurukshetra, Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit dan ksatria yang melawannya pasti binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab Bismaparwa dikatakan bahwa di dunia ini para ksatria sulit menandingi kekuatannya dan tidak ada yang mampu melawannya selain Arjuna – ksatria berpanah yang terkemuka – dan Kresna – penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma, namun ia sering bertarung dengan setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah kakek kandungnya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih sayang dengan Arjuna, cucu yang sangat dicintainya.
Kresna yang menjadi kusir kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang masih segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa Bisma dengan tangannya sendiri. Dengan mata yang menyorot tajam memancarkan kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan perhatian untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru bahagia jika gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia mengurungkan niatnya dan naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.

Kematian

Sebelum hari kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma di malam hari untuk mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui bahwa Pandawa dan Kresna telah masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab: .. ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung

Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut. Pada hari kesepuluh, Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di belakang Srikandi, Arjuna menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan melumpuhkan Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma menghembuskan nafasnya setelah ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan setelah ia memberikan wejangan suci kepada Yudistira setelah perang Bharatayuddha selesai.

Bisma dalam pewayangan Jawa
Antara Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.

Riwayat

Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.

Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa.
Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha.

Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.

Bisma Dewabrata Sebagai Leluhur Pendawa & Kurawa 

Bisma Dewabrata tumbuh menjadi seorang ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur.


Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah atau disebut dengan istilah Brahmacarin berkediaman di pertapaan Talkanda.



sumber: media seni budaya wayang Indonesia

motto
Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia