Sabtu, 20 April 2013

Kisah Prabu Sentanu

Prabu Sentanu & Bisma Dewabrata

Prabu Sentanu
Santanu adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Raja Pratipa dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurusetra, letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara legal, kakek daripada Pandu dan Dretarastra. Ia memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para keturunan Kuru, di Kerajaan Kuru.

Kehidupan awal

Prabu Santanu merupakan putra dari pasangan Raja Pratipa dengan Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru, yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat putranya lahir. Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang berburu ke hutan. Pada saat ayahnya hendak pensiun, kakaknya, Dewapi dan Bahlika menolak mewarisi tahta. Dewapi memutuskan untuk hidup sebagai pertapa demi menemukan kedamaian, sementara Bahlika memutuskan untuk pergi berkelanan ke India Barat. Maka dari itu, Santanu menggantikan posisi ayahnya, Raja Pratipa, sebagai raja di Hastinapura.

Pernikahan dengan Gangga

Dewi Gangga
Pada saat Prabu Santanu berburu ke tepi sungai Gangga, ia bertemu dengan wanita yang sangat cantik dan tubuhnya sangat indah. Wanita tersebut adalah Dewi Gangga (dalam tradisi Jawa disebut "Jahnawi"). Ia kena kutuk Dewa Brahma untuk turun ke bumi dan menjadi pasangan keturunan Raja Kuru. Karena terpikat oleh kecantikannya, Prabu Santanu merasa jatuh cinta. Dewi Gangga pun bersedia menjadi permaisurinya dengan syarat bahwa apapun yang ia lakukan terhadap anaknya, Prabu Santanu tidak boleh melarangnya. Jika Prabu Santanu melanggar janjinya, maka Dewi Gangga akan meninggalkannya. Karena perasaan cinta yang meluap-luap, maka syarat tersebut dipenuhi.

Setelah menikah, Dewi Gangga mengandung putranya yang pertama. Namun tak lama setelah anak tersebut lahir, ibunya segera menenggelamkannya ke sungai Gangga. Begitu pula pada para puternya yang selanjutnya, semua mengalami nasib yang sama. Sang raja mengetahui hal tersebut karena selalu membuntuti istrinya, namun ia tak kuasa mencegah karena terikat akan janji pernikahannya. Ketika Sang Dewi mengandung putranya yang kedelapan, Prabu Santanu tak tahan lagi. Lalu ia menghentikan perbuatan permaisurinya yang ia anggap sebagai perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan.

Dewi Gangga menghentikan perbuatannya lalu menjelaskan bahwa putra-putra yang ia lahirkan merupakan inkarnasi dari Astabasu atau delapan Wasu. Tindakannya menenggelamkan bayi-bayi tersebut adalah untuk melepaskan jiwa mereka agar mencapai surga, kediaman para Wasu. Konon, delapan Wasu tersebut pernah mencuri lembu sakti miliki Resi Wasista. Karena ketahuan, mereka dikutuk oleh Resi Wasista supaya kekuatan Dewata mereka hilang dan menjelma sebagai manusia. Salah satu dari delapan Wasu tersebut bernama Prabata yang merupakan pemimpin daripada rencana pencurian tersebut. Karena ia merupakan pelaku utama dan ketujuh Wasu lainnya hanya ikut membantu, maka Prabata yang menjelma paling lama sebagai manusia. Kelak Prabata menjelma sebagai seorang manusia sakti yang bernama Dewabrata. Setelah menjelaskan hal tersebut kepada Prabu Santanu, Dewi Gangga yang masih mengandung lenyap di sungai Gangga.

Kemunculan Bisma
Bisma

Prabu Santanu akhirnya merelakan kepergian permaisurinya dan kembali lagi ke istana, memerintah kerajaan Hastinapura. 16 tahun kemudian, Prabu Santanu yang sedang bosan, jalan-jalan ke tepi sungai Gangga. Di sana ia melihat seorang putra yang sangat kuat, mampu membendung air sungai Gangga menggunakan ratusan anak panah. Setelah ibunya (Dewi Gangga) muncul dan menjelaskan asal-usul anak tersebut, Prabu Santanu sangat gembira, sebab putranya yang dibawa pergi semenjak lahir telah kembali pulang. Oleh Santanu, anak tersebut diberi nama Dewabrata. Sang Prabu mengajak anak tersebut ke istana. Dewabrata tumbuh menjadi putera yang berbakti kepada orang tua dan memiliki jiwa ksatria tinggi. Ia bahkan dicalonkan sebagai penerus tahta.

Pernikahan dengan Gandawati

Pada suatu ketika Prabu Santanu mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang gadis desa, bernama Gandhawati (lebih dikenal sebagai Satyawati atau Durgandini). Gadis tersebut sangat elok parasnya dan harum tubuhnya. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar gadis tersebut. Ayah gadis tersebut bernama Dasabala. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut, orang tuanya mengajukan syarat bahwa jika Gandhawati (Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Gandhawati-lah yang harus menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.

Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala, Gandhawati, yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Gandhawati. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Gandhawati menikah lalu memiliki dua orang putra bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Prabu Santanu wafat dan Bisma menunjuk Citrānggada sebagai penerus tahta Hastinapura. Kelak Wicitrawirya akan menurunkan keluarga besar Pandawa dan Korawa

ARTI NAMA BISMA

Bisma (Sansekerta: Bhīshma) terlahir sebagai Dewabrata (Sansekerta: Dévavrata), adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

Arti nama
Nama Bhishma dalam bahasa Sansekerta berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat (hebat)”, karena ia bersumpah akan hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi tahta kerajaannya. Nama Dewabrata diganti menjadi Bisma karena ia melakukan bhishan pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Hal itu dikarenakan Bisma tidak ingin dia dan keturunannya berselisih dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya.

Kelahiran


Bisma Merupakan penjelmaan salah satu Delapan Wasu yang berinkarnasi sebagai manusia yang lahir dari pasangan Dewi Gangga dan Prabu Santanu. Menurut kitab Adiparwa, Delapan Wasu menjelma menjadi manusia karena dikutuk atas perbuatannya yang telah mencuri lembu sakti milik Resi Wasistha. Dalam perjalanannya menuju bumi, mereka bertemu dengan Dewi Gangga yang juga mau turun ke dunia untuk menjadi istri putera Raja Pratipa, yaitu Santanu. Delapan Wasu kemudian membuat kesepakatan dengan Dewi Gangga bahwa mereka akan menjelma sebagai delapan putera Prabu Santanu dan dilahirkan oleh Dewi Gangga. Bisma merupakan penjelmaan Wasu yang bernama Prabhata.


Kehidupan awal

Sementara tujuh kakaknya yang telah lahir meninggal karena ditenggelamkan ke sungai Gangga oleh ibu mereka sendiri, Bisma berhasil selamat karena perbuatan ibunya dicegah oleh ayahnya. Kemudian, sang ibu membawa Bisma yang masih bayi ke surga, meninggalkan Prabu Santanu sendirian. Setelah 36 tahun kemudian, Sang Prabu menemukan puteranya secara tidak sengaja di hilir sungai Gangga. Dewi Gangga kemudian menyerahkan anak tersebut kepada Sang Prabu, dan memberinya nama Dewabrata. Dewabrata kemudian menjadi pangeran yang cerdas dan gagah, dan dicalonkan sebagai pewaris kerajaan. Namun karena janjinya terhadap Sang Dasapati, ayah Satyawati (ibu tirinya), ia rela untuk tidak mewarisi tahta serta tidak menikah seumur hidup agar kelak keturunannya tidak memperebutkan tahta kerajaan dengan keturunan Satyawati. Karena ketulusannya tersebut, ia diberi nama Bisma dan dianugerahi agar mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri.

Bisma memiliki dua adik tiri dari ibu tirinya yang bernama Satyawati. Mereka bernama Citrānggada dan Wicitrawirya. Demi kebahagiaan adik-adiknya, ia pergi ke Kerajaan Kasi dan memenagkan sayembara sehingga berhasil membawa pulang tiga orang puteri bernama Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk dinikahkan kepada adik-adiknya. Karena Citrānggada wafat, maka Ambika dan Ambalika menikah dengan Wicitrawirya sedangkan Amba mencintai Bisma namun Bisma menolak cintanya karena terikat oleh sumpah bahwa ia tidak akan kawin seumur hidup. Demi usaha untuk menjauhkan Amba dari dirinya, tanpa sengaja ia menembakkan panah menembus dada Amba. Atas kematian itu, Bisma diberitahu bahwa kelak Amba bereinkarnasi menjadi seorang pangeran yang memiliki sifat kewanitaan, yaitu putera Raja Drupada yang bernama Srikandi. Kelak kematiannya juga berada di tangan Srikandi yang membantu Arjuna dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.

Pendidikan
Bisma mempelajari ilmu politik dari Brihaspati (guru para Dewa), ilmu Veda dan Vedangga dari Resi Wasistha, dan ilmu perang dari Parasurama (Ramaparasu; Rama Bargawa), seorang ksatria legendaris sekaligus salah satu Chiranjīwin yang hidup abadi sejak zaman Treta Yuga. Dengan berguru kepadanya Bisma mahir dalam menggunakan segala jenis senjata dan karena kepandaiannya tersebut ia ditakuti oleh segala lawannya. Bisma berhenti belajar kepada Parasurama karena perdebatan mereka di asrama tentang masalah Amba. Pada saat itu dengan sengaja Bisma mendorong Parasurama sampai terjatuh, dan semenjak itu Parasurama bersumpah untuk tidak lagi menerima murid dari kasta Kshatriya karena membuat susah.

Peran dalam Dinasti Kuru

Di lingkungan keraton Hastinapura, Bisma sangat dihormati oleh anak-cucunya. Tidak hanya karena ia tua, namun juga karena kemahirannya dalam bidang militer dan peperangan. Dalam setiap pertempuran, pastilah ia selalu menang karena sudah sangat berpengalaman. Yudistira juga pernah mengatakan, bahwa tidak ada yang sanggup menaklukkan Bisma dalam pertempuran, bahkan apabila laskar Dewa dan laskar Asura menggabungkan kekuatan dan dipimpin oleh Indra, Sang Dewa Perang.
Bisma sangat dicintai oleh Pandawa maupun Korawa. Mereka menghormatinya sebagai seorang kakek sekaligus kepala keluarga yang bijaksana. Kadangkala Pandawa menganggap Bisma sebagai ayah mereka (Pandu), yang sebenarnya telah wafat.

Perang di Kurusetra

Saat perang antara Pandawa dan Korawa meletus, Bisma berada di pihak Korawa. Sesaat sebelum pertempuran, ia berkata kepada Yudistira bahwa dirinya telah diperbudak oleh kekayaan, dan dengan kekayaannya Korawa mengikat Bisma. Meskipun demikian, karena Yudistira telah melakukan penghormatan sebelum pertempuran, maka Bisma merestui Yudistira dan berdo’a agar kemenangan berada di pihak Pandawa, meskipun Bisma sangat sulit untuk ditaklukkan. Bisma juga pernah berkata kepada Duryodana, bahwa meski dirinya (Bisma) memihak Korawa, kemenangan sudah pasti berada di pihak Pandawa karena Kresna berada di sana, dan dimanapun ada Kresna maka di sanalah terdapat kebenaran serta keberuntungan dan dimanapun ada Arjuna, di sanalah terdapat kejayaan.

Bisma Gugur
Dalam pertempuran akbar di dataran keramat Kurukshetra, Bisma bertarung dengan dahsyat. Prajurit dan ksatria yang melawannya pasti binasa atau mengalami luka berat. Dalam kitab Bismaparwa dikatakan bahwa di dunia ini para ksatria sulit menandingi kekuatannya dan tidak ada yang mampu melawannya selain Arjuna – ksatria berpanah yang terkemuka – dan Kresna – penjelmaan Wisnu. Meskipun Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melawan Bisma, namun ia sering bertarung dengan setengah hati, mengingat bahwa Bisma adalah kakek kandungnya sendiri. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bisma, yang masih sayang dengan Arjuna, cucu yang sangat dicintainya.
Kresna yang menjadi kusir kereta Arjuna dalam peperangan, menjadi marah dengan sikap Arjuna yang masih segan untuk menghabisi nyawa Bisma, dan ia nekat untuk menghabisi nyawa Bisma dengan tangannya sendiri. Dengan mata yang menyorot tajam memancarkan kemarahan, ia memutar-mutar chakra di atas tangannya dan memusatkan perhatian untuk membidik leher Bisma. Bisma tidak menghindar, namun justru bahagia jika gugur di tangan Madhawa (Kresna). Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat itu!…”
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, ia mengurungkan niatnya dan naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.

Kematian

Sebelum hari kematiannya, Pandawa dan Kresna mendatangi kemah Bisma di malam hari untuk mencari tahu kelemahannya. Bisma mengetahui bahwa Pandawa dan Kresna telah masuk ke dalam kemahnya dan ia menyambut mereka dengan ramah. Ketika Yudistira menanyakan apa yang bisa diperbuat untuk menaklukkan Bisma yang sangat mereka hormati, Bisma menjawab: .. ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung

Bisma juga mengatakan apabila pihak Pandawa ingin mengalahkannya, mereka harus menempatkan seseorang yang membuat Bisma enggan untuk bertarung di depan kereta Arjuna, karena ia yakin hanya Arjuna dan Kresna yang mampu mengalahkannya dalam peperangan. Dengan bersembunyi di belakang orang yang membuat Bisma enggan berperang, Arjuna harus mampu melumpuhkan Bisma dengan panah-panahnya. Berpedoman kepada pernyataan tersebut, Kresna menyadarkan Arjuna akan kewajibannya. Meski Arjuna masih segan, namun ia menuntaskan tugas tersebut. Pada hari kesepuluh, Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak melawan. Di belakang Srikandi, Arjuna menembakkan panah-panahnya yang dahsyat dan melumpuhkan Bisma. Panah-panah tersebut menancap dan menembus baju zirahnya, kemudian Bisma terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh puluhan panah yang menancap di tubuhnya. Namun Bisma tidak gugur seketika karena ia boleh menentukan waktu kematiannya sendiri. Bisma menghembuskan nafasnya setelah ia menyaksikan kehancuran pasukan Korawa dan setelah ia memberikan wejangan suci kepada Yudistira setelah perang Bharatayuddha selesai.

Bisma dalam pewayangan Jawa
Antara Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.

Riwayat

Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.

Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa.
Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha.

Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.

Bisma Dewabrata Sebagai Leluhur Pendawa & Kurawa 

Bisma Dewabrata tumbuh menjadi seorang ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur.


Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah atau disebut dengan istilah Brahmacarin berkediaman di pertapaan Talkanda.



sumber: media seni budaya wayang Indonesia

motto
Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia











Mengenang Tokoh Kebudayaan Daerah

Ki Timbul Hadiprayitno


Dunia pewayangan Indonesia, khususnya wayang kulit gagrak Yogyakarta kembali kehilangan salah satu tokoh besar. Ki Timbul Hadiprayitno, dalang yang konsisten dengan gagrak Yogyakarta, Ki Timbul Hadiprayitno, seorang maestro wayang kulit, meninggal dunia dalam usia 79 tahun, menghembuskan nafas terakhir di rumahnya Jalan Parangtritis Km 14,5 Panjangjiwo, Patalan, Jetis, Bantul. Selasa (10/5) pukul 01.25 WIB. Jenazah Ki Timbul sendiri dikebumikan di Pesarean Suci, Panjangjiwo, pada pukul 14.00 WIB.
Selain masyarakat setempat dan kerabat di rumah duka, hadir juga Ki Anom Suroto, Ki Cermo Sutejo (dalang), Widayat, Marsidah (tokoh kethoprak), dosen-dosen ISI Yogyakarta dan sebagainya.
Ki Timbul Meninggalkan 12 anak kandung, dari tiga perempuan yang diperistrinya. Dari perkawinan dengan istri pertama, Tuginem, Ki Timbul dikaruniai dua orang anak. Lalu dari perkawinan dengan istri keduanya, Rukidah, dikaruniai enam orang anak. Sementara itu, perkawinan dengan istri ketiganya, Painah, tak dikaruniai anak.
Dalang kelahiran Bagelen, Purworejo, yang mendapat gelar Rio Cerma Manggala dari Keraton Yogyakarta itu sudah terkenal sejak tahun 1953 dan hingga dipanggil Yang Maha Kuasa masih aktif. Ki Timbul termasuk dalang yang sangat fanatik dengan pergelaran pakem, bukan pergelaran kolaborasi dengan berbagai cabang seni. Tak segan Ki Timbul menolak permintaan untuk pentas dengan bintang tamu pelawak.

Selain dikenal sebagai dalang yang konsisten dengan gagrak klasik Yogyakarta, Ki Timbul merupakan tokoh pewayangan yang terkenal di dalam dan luar negeri. Ia juga mengabdikan diri sebagai abdi dalem keraton dengan gelar Mas Cermomanggolo, dan menjadi guru di sekolah pedalangan Habiranda.
Pada masa era 1970-1990an, Ki Timbul sangat sering mendalang di ibukota. Misalnya pada tahun 1970-1971 ia menggelar serial Baratayuda di Senayan. Kemudian pada tahun 1982-1994 ia menjadi dalang tetap peringatan 1 Sura di Senayan.

Gaya mendalang Ki Timbul ini konon sangat disukai pejabat tinggi ibukota, termasuk almarhum Presiden Soeharto. Tidak ketinggalan, almarhum Gus Dur pun kepincut dengan gaya mendalang Ki Timbul yang klasik dan teguh dengan filosofi Jawa.
Ki Timbul juga membagi ilmunya dengan mengajar mendalang di pedalangan Habiranda Kraton Yogyakarta serta menjadi dosen tamu ISI Yogyakarta. Semasa zaman Orde Baru, Ki Timbul pernah mendalang dengan lakon Semar Babar Jati Diri di hadapan Presiden Suharto waktu itu. Sedang saat mantan Presiden Gus Dur sudah tidak menjabat presiden lagi, beliau juga lebih dari 3 kali menyaksikan penampilan Ki Timbul. Saat menjadi Presiden tahun 2001, Gus Dur menyaksikan penampilan Ki Timbul saat mendalang di Balairung Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Menurut orang dekat Gus Dur, Agus Wiyarto, yang hadir di rumah duka, semasa hidup Bapak Pluralisme itu telah lima kali nanggap Ki Timbul. "Kalau sudah bilang pingin nonton Ki Timbul, itu artinya Gus Dur kangen. Gus Dur menganggap konsistensi Ki Timbul terhadap gagrak Yogyakarta ini menjadi kamus filosofi Jawa yang inspiratif," jelas pria yang kini menjadi Ketua DPW PKB Indonesia DIY, itu.
Sementara itu, juru kunci Merapi, Asih atau Mas Lurah Suraksosihono menyatakan jika Ki Timbul berteman akrab dengan almarhum mbah Maridjan. "Mereka sahabat karib, dengan hobi yang sama yaitu melestarikan wayang kulit sampai akhir hayat Mereka juga rutin saling silaturahmi ," kata Asih.
Menurut Asih, secara pribadi dirinya juga merasa kehilangan sosok Ki Timbul. Sosok Ki Timbul yang menjadi dalang langganan warga lereng Merapi setiap ada acara ruwatan itu adalah sosok yang teguh mendarmabaktikan dirinya untuk pewayangan.
"Saya berharap sikap semacam ini bisa menular pada dalang-dalang muda," katanya.

Audio pagelaran wayang oleh Ki Timbul Cermo Manggolo
( Ki Timbul Hadiprayitno ):

    1. Abimanyu Gugur
    2. Durna Gugur
    3. Gatotkaca Krama
    4. Rama Nitis
    5. Suyudana Gugur
    6. Kresna Duta
    7. Wahyu Setyo Wacono
    8. Banjaran Abimanyu
    9. Banjaran Arjuna
    10. Banjaran Bimo Seno
    11. Banjaran Carios Hanoman
    12. Banjaran Carios Gatotkaca
    13. Banjaran Duryudono
    14. Banjaran Karno
    15. Banjaran Kumbokarno
    16. Banjaran Pandita Durna
    17. Banjaran Baladewa
    18. Banjaran Sengkuni
    19. Banjaran Rahwana
    20. Begawan Ciptoning (Mintaraga)
    21. Durna Gugur
    22. Gatotkaca Gugur
    23. Gatotkaca Krama
    24. Kalima Husada
    25. Karno Tanding
    26. Kresna Duta
    27. Kresna Gugah
    28. Kuncara Manik
    29. Lokapala Bedah
    30. Pasar Anyar Ngastino
    31. Prabu Watu Gunung
    32. Permadi Krama
    33. Puspita Dewa Retna
    34. Rama Nitik
    35. Rama Tambak
    36. Rubuhan (Barata Yudha)
    37. Satriyo Pinilih
    38. Semar Boyong
    39. Sesaji Rajasuya
    40. Setya Wening
    41. Suyudana Gugur
    42. Wahyu Imandaya Nutuh
    43. Wahyu Widayat
    44. Wisanggeni Krama
    45. Wisnu Ratu
    46. Lahire Parikesit
    47. Wahyu Cahyo Wacono
    48. Duryudana Gugur
    49. Antareja Begal
    50. Gatutkaca Kendaga
    51. Sembodro Ratu
    52. Dasamuka Lena
    53. Bisma Gugur, Seta Gugur
    54. Wahyu Makutharama
    55. Rabine Wisnu
    56. Rama Nitik
    57. Kuntulwilanten
    58. Wahyu Tirta Panca Purba
    59. Wahyu Purbajati
    60. Kresno Malang Dewo
      Kiprah Sebagai Dalang Konsisten

      Ki Timbul Hadiprayitno atau kini M.W Timbul Cermo Manggala tergolong dalang paling senior dan masih aktif sampai sekarang. Lahir di desa Jenar, Bagelan, Purworejo pada tahun 1932. Darah seni dan bakatnya mendalang harus diakui tidak datang secara tiba-tiba, meskipun jelas dari garis keturunannya.
      Pada awalnya Timbul yang masih bocah itu memang sudah menunjukkan kelebihannya dalam bermain wayang. Kemampuan ini di dapat dari kakeknya, Ki Gunawarto. Di dorong oleh motivasinya yang tinggi, pada tahun 1956, Timbul masuk ke Habirandha keraton Yogyakarta. Di sekolah pedalangan milik keraton inilah Timbul mendapatkan gemblengan, pengetahuan baik teori, retorika serta filsafat tentang wayang yang menjadi bekalnya kemudian sebagai dalang. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Mula-mula Timbul menggelar pementasanya di daerahnya. Eksistensinya sebagai dalang semakin mendapat pengakuan luas, terbukti kemudian Ki Timbul menguasai Yogya bagian Selatan, Utara, Timur dan Barat
      Namanya terus melambung. Pada dekace 80-an, Ki Timbul melawat ke Lampung, Lombok, dan ke London (Inggris).

      Banyak lakon yang sudah digarapnya disamping menyajikan lakon-lakon baku yang sudah ada. Sebagai dalang Ki Timbul menampakkan cirinya yang khas yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecintanya: sabet, filsafat serta kesetiaannya yang tidak bisa ditawar pada dunia seni pewayangan klasik Yogyakarta. Prinsip ini seakan tidak tergoyahkan bahkan sampai sekarang ketika para dalang-dalang muda bermunculan.
      Atas keseniannya, Kti Timbul sejak tahun 1986 mengajar di ISI Yogyakarta. Adapun berkait dengan penghargaan, Ki Timbul Hadiprayitno pernah menerimanya dari Mendikbud RI, Kodam V Brawijaya Jatim, Polda Jateng, TVRI Stasiun Yogyakarta, RRI Nusantara II, Pemda Bantul, Fakultas Sastra UGM, mingguan Buana Minggu Jakarta, Pepadi dan masih banyak lainnya.
      Sementara dari Keraton Yogyakarta tempat dimana ia mengabdikan dirinya sebagai abdi dalem, Ki Timbul Hadiprayitno mendapat anugerah nama M.W. Timbul Cermo Manggala, dan budaya dalam serat bratayuda (Cetakan I terbit Maret 2004), Teori Estetika untuk Seni Pedalangan (Cetakan I, terbit September 2004).

      Selain itu juga mengerjakan penulisan Naskah dan Karya Seni, antara lain Smaradahana (1995), Ontran-ontran Mandura (1996), Dewa Ruci (1997), Prigiwa-Pregiwati (1997), Babad Alas Mertani (1999), Harjuna Wijimulya (2000), Sang Palasara (2001), Apologi Rama (2001) Tele Wayang serial Gathutkaca (1999-2000).
      Pengalaman dalam program Pengabdian Masyarakat : Tim Penyuluhan Seni ISI Yogyakarta bidang seni pedalangan di DIY dan sekitarnya (1999 s/d 2001); Ketua PEPADI (Perstuan Dalang Indonesia) Prop. DIY dua periode sejak 1998 – 2001 dan 2001 – 2004; Anggota Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI Jakarta (2001-2004); Ketua tim Sibermas ISI Yogyakarta (2001-2004) di Kab Gunung Kidul DIY Ketua Pendampingan UKM Perajin Kulit di Kec. Pajangan Bantul, Yogyakarta (2001).
      Pengalaman misi luar negeri : 1989 ke London sebagai tim editing film wayang The Crown of Roma, 1997 ke India dalam rangka workshop and Exhibition Indian and South East of Asia Tribal Art.

      sumber: berbagai media


      " Selamat Jalan Ki Timbul Namamu Akan Terukir Diatas Karya Senimu "

      Semoga Amal Ibadahnya diterima Allah SWT,
      di ampuni segala Dosa-dosanya, dan diberikan jalan terang serta mendapatkan tempat yang sempurna disisi-Nya. 
      Amiien, , , ,


      https://youtu.be/SJfMfAuYtTc