Dunia pewayangan Indonesia, khususnya wayang kulit gagrak Yogyakarta kembali kehilangan salah satu tokoh besar. Ki Timbul Hadiprayitno, dalang yang konsisten dengan gagrak Yogyakarta, Ki Timbul Hadiprayitno, seorang maestro wayang kulit, meninggal dunia dalam usia 79 tahun, menghembuskan nafas terakhir di rumahnya Jalan Parangtritis Km 14,5 Panjangjiwo, Patalan, Jetis, Bantul. Selasa (10/5) pukul 01.25 WIB. Jenazah Ki Timbul sendiri dikebumikan di Pesarean Suci, Panjangjiwo, pada pukul 14.00 WIB.
Selain masyarakat setempat dan kerabat di rumah duka, hadir juga Ki Anom Suroto, Ki Cermo Sutejo (dalang), Widayat, Marsidah (tokoh kethoprak), dosen-dosen ISI Yogyakarta dan sebagainya.
Ki Timbul Meninggalkan 12 anak kandung, dari tiga perempuan yang diperistrinya. Dari perkawinan dengan istri pertama, Tuginem, Ki Timbul dikaruniai dua orang anak. Lalu dari perkawinan dengan istri keduanya, Rukidah, dikaruniai enam orang anak. Sementara itu, perkawinan dengan istri ketiganya, Painah, tak dikaruniai anak.
Dalang kelahiran Bagelen, Purworejo, yang mendapat gelar Rio Cerma Manggala dari Keraton Yogyakarta itu sudah terkenal sejak tahun 1953 dan hingga dipanggil Yang Maha Kuasa masih aktif. Ki Timbul termasuk dalang yang sangat fanatik dengan pergelaran pakem, bukan pergelaran kolaborasi dengan berbagai cabang seni. Tak segan Ki Timbul menolak permintaan untuk pentas dengan bintang tamu pelawak.
Selain masyarakat setempat dan kerabat di rumah duka, hadir juga Ki Anom Suroto, Ki Cermo Sutejo (dalang), Widayat, Marsidah (tokoh kethoprak), dosen-dosen ISI Yogyakarta dan sebagainya.
Ki Timbul Meninggalkan 12 anak kandung, dari tiga perempuan yang diperistrinya. Dari perkawinan dengan istri pertama, Tuginem, Ki Timbul dikaruniai dua orang anak. Lalu dari perkawinan dengan istri keduanya, Rukidah, dikaruniai enam orang anak. Sementara itu, perkawinan dengan istri ketiganya, Painah, tak dikaruniai anak.
Dalang kelahiran Bagelen, Purworejo, yang mendapat gelar Rio Cerma Manggala dari Keraton Yogyakarta itu sudah terkenal sejak tahun 1953 dan hingga dipanggil Yang Maha Kuasa masih aktif. Ki Timbul termasuk dalang yang sangat fanatik dengan pergelaran pakem, bukan pergelaran kolaborasi dengan berbagai cabang seni. Tak segan Ki Timbul menolak permintaan untuk pentas dengan bintang tamu pelawak.
Selain dikenal
sebagai dalang yang konsisten dengan gagrak klasik Yogyakarta, Ki Timbul
merupakan tokoh pewayangan yang terkenal di dalam dan luar negeri. Ia juga
mengabdikan diri sebagai abdi dalem keraton dengan gelar Mas Cermomanggolo, dan
menjadi guru di sekolah pedalangan Habiranda.
Pada masa era
1970-1990an, Ki Timbul sangat sering mendalang di ibukota. Misalnya pada tahun
1970-1971 ia menggelar serial Baratayuda di Senayan. Kemudian pada tahun
1982-1994 ia menjadi dalang tetap peringatan 1 Sura di Senayan.
Gaya mendalang Ki
Timbul ini konon sangat disukai pejabat tinggi ibukota, termasuk almarhum
Presiden Soeharto. Tidak ketinggalan, almarhum Gus Dur pun kepincut dengan gaya
mendalang Ki Timbul yang klasik dan teguh dengan filosofi Jawa.
Ki Timbul juga
membagi ilmunya dengan mengajar mendalang di pedalangan Habiranda Kraton
Yogyakarta serta menjadi dosen tamu ISI Yogyakarta. Semasa zaman Orde Baru, Ki
Timbul pernah mendalang dengan lakon Semar Babar Jati Diri di hadapan Presiden
Suharto waktu itu. Sedang saat mantan Presiden Gus Dur sudah tidak menjabat
presiden lagi, beliau juga lebih dari 3 kali menyaksikan penampilan Ki Timbul.
Saat menjadi Presiden tahun 2001, Gus Dur menyaksikan penampilan Ki Timbul saat
mendalang di Balairung Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Menurut orang dekat
Gus Dur, Agus Wiyarto, yang hadir di rumah duka, semasa hidup Bapak Pluralisme
itu telah lima kali nanggap Ki Timbul. "Kalau sudah bilang pingin nonton
Ki Timbul, itu artinya Gus Dur kangen. Gus Dur menganggap konsistensi Ki Timbul
terhadap gagrak Yogyakarta ini menjadi kamus filosofi Jawa yang
inspiratif," jelas pria yang kini menjadi Ketua DPW PKB Indonesia DIY,
itu.
Sementara itu, juru
kunci Merapi, Asih atau Mas Lurah Suraksosihono menyatakan jika Ki Timbul
berteman akrab dengan almarhum mbah Maridjan. "Mereka sahabat karib,
dengan hobi yang sama yaitu melestarikan wayang kulit sampai akhir hayat Mereka
juga rutin saling silaturahmi ," kata Asih.
Menurut Asih, secara
pribadi dirinya juga merasa kehilangan sosok Ki Timbul. Sosok Ki Timbul yang
menjadi dalang langganan warga lereng Merapi setiap ada acara ruwatan itu
adalah sosok yang teguh mendarmabaktikan dirinya untuk pewayangan.
"Saya berharap
sikap semacam ini bisa menular pada dalang-dalang muda," katanya.
Audio pagelaran wayang oleh Ki Timbul Cermo Manggolo
( Ki Timbul Hadiprayitno ):
- Abimanyu Gugur
- Durna Gugur
- Gatotkaca Krama
- Rama Nitis
- Suyudana Gugur
- Kresna Duta
- Wahyu Setyo Wacono
- Banjaran Abimanyu
- Banjaran Arjuna
- Banjaran Bimo Seno
- Banjaran Carios Hanoman
- Banjaran Carios Gatotkaca
- Banjaran Duryudono
- Banjaran Karno
- Banjaran Kumbokarno
- Banjaran Pandita Durna
- Banjaran Baladewa
- Banjaran Sengkuni
- Banjaran Rahwana
- Begawan Ciptoning (Mintaraga)
- Durna Gugur
- Gatotkaca Gugur
- Gatotkaca Krama
- Kalima Husada
- Karno Tanding
- Kresna Duta
- Kresna Gugah
- Kuncara Manik
- Lokapala Bedah
- Pasar Anyar Ngastino
- Prabu Watu Gunung
- Permadi Krama
- Puspita Dewa Retna
- Rama Nitik
- Rama Tambak
- Rubuhan (Barata Yudha)
- Satriyo Pinilih
- Semar Boyong
- Sesaji Rajasuya
- Setya Wening
- Suyudana Gugur
- Wahyu Imandaya Nutuh
- Wahyu Widayat
- Wisanggeni Krama
- Wisnu Ratu
- Lahire Parikesit
- Wahyu Cahyo Wacono
- Duryudana Gugur
- Antareja Begal
- Gatutkaca Kendaga
- Sembodro Ratu
- Dasamuka Lena
- Bisma Gugur, Seta Gugur
- Wahyu Makutharama
- Rabine Wisnu
- Rama Nitik
- Kuntulwilanten
- Wahyu Tirta Panca Purba
- Wahyu Purbajati
- Kresno Malang Dewo
Ki Timbul
Hadiprayitno atau kini M.W Timbul Cermo Manggala tergolong dalang paling senior
dan masih aktif sampai sekarang. Lahir di desa Jenar, Bagelan, Purworejo pada
tahun 1932. Darah seni dan bakatnya mendalang harus diakui tidak datang secara
tiba-tiba, meskipun jelas dari garis keturunannya.
Pada awalnya Timbul
yang masih bocah itu memang sudah menunjukkan kelebihannya dalam bermain
wayang. Kemampuan ini di dapat dari kakeknya, Ki Gunawarto. Di dorong oleh
motivasinya yang tinggi, pada tahun 1956, Timbul masuk ke Habirandha keraton
Yogyakarta. Di sekolah pedalangan milik keraton inilah Timbul mendapatkan
gemblengan, pengetahuan baik teori, retorika serta filsafat tentang wayang yang
menjadi bekalnya kemudian sebagai dalang. Kerja kerasnya tidak sia-sia.
Mula-mula Timbul menggelar pementasanya di daerahnya. Eksistensinya sebagai
dalang semakin mendapat pengakuan luas, terbukti kemudian Ki Timbul menguasai
Yogya bagian Selatan, Utara, Timur dan Barat
Namanya terus
melambung. Pada dekace 80-an, Ki Timbul melawat ke Lampung, Lombok, dan ke
London (Inggris).
Banyak lakon yang
sudah digarapnya disamping menyajikan lakon-lakon baku yang sudah ada. Sebagai
dalang Ki Timbul menampakkan cirinya yang khas yang menjadi daya tarik
tersendiri bagi para pecintanya: sabet, filsafat serta kesetiaannya yang tidak
bisa ditawar pada dunia seni pewayangan klasik Yogyakarta. Prinsip ini seakan
tidak tergoyahkan bahkan sampai sekarang ketika para dalang-dalang muda
bermunculan.
Atas keseniannya,
Kti Timbul sejak tahun 1986 mengajar di ISI Yogyakarta. Adapun berkait dengan
penghargaan, Ki Timbul Hadiprayitno pernah menerimanya dari Mendikbud RI, Kodam
V Brawijaya Jatim, Polda Jateng, TVRI Stasiun Yogyakarta, RRI Nusantara II,
Pemda Bantul, Fakultas Sastra UGM, mingguan Buana Minggu Jakarta, Pepadi dan
masih banyak lainnya.
Sementara dari
Keraton Yogyakarta tempat dimana ia mengabdikan dirinya sebagai abdi dalem, Ki
Timbul Hadiprayitno mendapat anugerah nama M.W. Timbul Cermo Manggala, dan
budaya dalam serat bratayuda (Cetakan I terbit Maret 2004), Teori Estetika
untuk Seni Pedalangan (Cetakan I, terbit September 2004).
Selain itu juga
mengerjakan penulisan Naskah dan Karya Seni, antara lain Smaradahana (1995),
Ontran-ontran Mandura (1996), Dewa Ruci (1997), Prigiwa-Pregiwati (1997), Babad
Alas Mertani (1999), Harjuna Wijimulya (2000), Sang Palasara (2001), Apologi
Rama (2001) Tele Wayang serial Gathutkaca (1999-2000).
Pengalaman dalam
program Pengabdian Masyarakat : Tim Penyuluhan Seni ISI Yogyakarta bidang seni
pedalangan di DIY dan sekitarnya (1999 s/d 2001); Ketua PEPADI (Perstuan Dalang
Indonesia) Prop. DIY dua periode sejak 1998 – 2001 dan 2001 – 2004; Anggota
Dewan Kebijaksanaan SENA WANGI Jakarta (2001-2004); Ketua tim Sibermas ISI
Yogyakarta (2001-2004) di Kab Gunung Kidul DIY Ketua Pendampingan UKM Perajin
Kulit di Kec. Pajangan Bantul, Yogyakarta (2001).
Pengalaman misi luar
negeri : 1989 ke London sebagai tim editing film wayang The Crown of Roma, 1997
ke India dalam rangka workshop and Exhibition Indian and South East of Asia
Tribal Art.
sumber: berbagai media
" Selamat Jalan
Ki Timbul Namamu Akan Terukir Diatas Karya Senimu "
Semoga Amal Ibadahnya diterima Allah SWT, di ampuni segala Dosa-dosanya, dan diberikan jalan terang serta mendapatkan tempat yang sempurna disisi-Nya.
Amiien, , , ,
https://youtu.be/SJfMfAuYtTc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar