n
sejauh mana kesabaran dan kesumerahannya, dijelaskan dalam kisah sebagai
berikut:
Ketika itu Pandawa sedang berada di
hutan Kamiaka. Merek sedang menjalani hukuman buang selama 13 tahun akibat
tipudaya kaum Kurawa. Lapar dan dahaga serta bahaya yang setiap saat mengancam
merupakan derita yang amat sangat. Tetapi berkat keteguhan dan ketabahan serta
tak putus-putus berdoa kepada Hyang Maha Tunggal kesemua itu dapat diatasi.
"Hemm, sampai kapan derita ini
akan berakhir, si Duryudana keparat itu semakin besar kepala," geram Bima,
"Baru tujuh tahun Sena. Tinggal enam tahun lagi, sabarlah dik,"
Yudhistira menghibur. "Kalau saja aku diberi ijin kakang Yudhistira, sekarang
juga aku gedor si laknat itu," kata Bima penuh nafsu.
"Tulisan neraca Maha Agung tak
dapat diubah lagi. Andaipun kita bertindak, tetapi tidak akan merubah nasib,
dik. Malapetaka ini harus kita jadikan pelajaran untuk memperkuat jiwa dan
pikiran agar siap menghadapi segala tantangan hidup," ujar Yudhistira.
Sabar dan kesumerahan Yudhistira membuat adik-adiknya tunduk tak berani
membantah.
Pada suatu hari terjadi musibah menimpa
keluarga Pandawa. Arjuna, Nalu dan Sadeewa ditemukan ajal setelah minum air
kolam di tengah hutan itu. Rupa-rupanya kolam itu ada penunggunya. Dengan
perasaan sedih Yudhistira berkata: "Duh, dewta, siapa yang tega mencabut
nyawa adik-adikku. habislah harapanku untuk merebut negeri Astina. Dinda
Arjuna, kaulah andalan kami, tapi kini kau telah pergi untuk selama-lamanya.
Apa dayaku," ratapnya.
Tak lama kemudian terdengar suara tanpa
rupa: "Mereka mati karena minum air kolam. Peringatanku tak
dihiraukan." "Oh, siapakah tuan?" tanya Yudhistira. "Aku
penunggu kolam. Saudaramu tak menghiraukan peringatanku untuk tidak minum air
itu," jawabnya.
"Hamba mohon maaf atas kelancangan
adik-adik hamba. Jika memang kematiannya sudah kehendak Hyang Pinasti, hama
relakan. Tetapi jika kematiannya belum waktunya, sudi kiranya tuan menolong
menghidupkannya kembali," pintanya. "Aku bersedia menghidupkan salah
seorang diantara mereka, asal kau bersedia menjawab beberapa
pertanyaanku," kata suara itu.
"Hamba akan menurut kehendak tuan,
Silahkan tuan bertanya barangkali hamba dapat menjawabnya," "Baik,
dengarkan. Pertanyaan pertama: Siapa musuh yang paling gagah suka membunuh tapi
sukar dilawan?"
"Menurut hamba musuh yang paling gagah
adalah hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri sendiri. Ia suka membunuh
apabila diperturutkan keinginannya. Ia sukar dilawan jika iman kita
lemah," jawab Yudhistira.
"Jawabanmu benar. Sekarang
pertanyaan kedua: Yang bagaimana orang yang baik itu dan bagaimana orang yang
buruk itu?"
"Menurut hamba orang yang baik
adalah orang yang berbudi luhur mau menolong yang susah dan kasih sayang
terhadap sesama. Sedangkan orang yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas
kasih dan tak berperikemanusiaan."
"Benar, sekarang apakah yang
tinggi ilmu itu orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, atau orang alim
atau karena keturunan?"
"Menurut hamba orang yang berilmu
tinggi bukan karena ia pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi
tetapi kalau pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan
bukan pula orang baik," jawabnya.
"Jawabanmu semua benar. Sekarang
pilih salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali," kata suara itu.
Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati
Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu. dia merupakan andalan jika ada
kerusuhan. Tapi pilihan itu segera hilang dari ingatannya, manakala
pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu. Jikalau memilih
Arjuna. selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil. Maka akhirnya pilihan
jatuh kepada Nakula yang segera ia sampaikan kepada si penunggu kolam.
"Hamba memilih Nakula, tuan." "Mengapa engkau memilih Nakula.
Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu, lagi pula seibu?"
tanya suara itu.
"Bagi hamba bukan soal penting
atau tidaknya, tetapi keadilannya. Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba
akan sama-sama merasa senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sedangkan dari
ibu Madrim kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil," jawab
Yudhistira.
"Benar-benar engkau kekasih Yang
Manon. Kau manusia berbudi luhur, sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau
lebih berat kepada adil dari pada kasih sayang?" tanyanya lagi.
"Sebab adil harus jauh dari sifat
serakah. Jika hanya kasih atau sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar
membenarkan yang salah. Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih,
yang dilihat hanya bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran
mengaburkan penglihatan," Yudhistira menegaskan pendiriannya. Suara itu
tak menjawab lagi, sebagai gantinya Batara Darma, dewa keadilan, telah berdiri
di hadapan Yudhistira seraya bersabda: "Anakku, engkau benar benar
mustikaning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan
kembali," tukasnya, yang tak lain adalah suara yang tanpa rupa tadi.
Betapa gembirannya Yudhistira dapat
berkumpul kembali dengan adik-adiknya. Kemudian mereka melanjutkan
pengembaraannya menyusuri hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal.
sumber: seni budaya wayang Indonesia